- Back to Home »
- Laporan dan makalah »
- Tugas 11 Sosum
Posted by : Unknown
Saturday, December 14, 2013
Praktikum ke :
11 Hari Tanggal : Rabu, 11 Desember 2013
Mata Kuliah :
Sosiologi Umum Ruangan : CCR 2.16
SYSTEM OF RICE
INTENSIFICATION
Oleh: Rina Mardiana dan Soeryo Adiwibowo
&
MANFAAT KEARIFAN EKOLOGI
TERHADAP PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
Studi Etnoekologi di Kalangan
Orang Biboki
Oleh: Yohanes Gabriel Amsikan
Achmad
Wahyu Wildan F34130045
Nama Asisten : Kasfy Allama
(I34100107)
SYSTEM OF RICE
INTENSIFICATION
Oleh: Rina Mardiana dan Soeryo Adiwibowo
Sejak 1960an kebijakan pertanian yang dilancarkan
pemerintah lebih mengarah pada intensifikasi sistem pertanian pangan. Revolusi
Hijau merupakan program yang mengintensifkan pembangunan bibit varietas unggul,
pestisida dan pupuk kimia, serta jaringan irigasi. Revousi Hijau mampu mencapai
tujuan makro, namun pada tingkat mikro telah menimbulkan berbagai masalah,
yakni dari aspek ekologis, sosial ekonomi dan budaya. Pola Revolusi Hijau juga terjadi di bidang perikanan,
yakni revolusi Biru. Revolusi biru hampir mirip dengan revolusi hijau hanya
saja letak yang membedakannya.
Ada dua hal yang berkaitan dengan intensifikasi dan
monokultur budaya ini. Petama, penggunaan pestisida kimia terus menerus dalam
jangka panjang dapat menimbulkan resistensi (kekebalan) dan resujensi
(kemunculan kembali) hama. Kedua, penggunaan satu varietas saja dalam satu sektor pertanian membuat
sistem pertanian rentan, karena bila terserang hama, maka seuruh kebun ladang,
sawah, tambak dan kebun akan mengalami gagal panen. Sistem pertanian lokal
menjadi diabaikan bahkan telah disingkirkan secara sistematik. Konversi lahan
subur merupakan masalah mendasar.
Investasi besar untuk menyukseskan revolusi hijau tidak
diiringi dengan kebijakan yang menyeluruh di bidang
pertanian terutama mempertahankan luas lahan pertanian. Kenyataan menunjukan
bahwa pembangunan di bidang pertanian tidak mampu mengangkat kondisi sosial ekonomi
petani, terutama petani padi. Metode SRI (System of Rice Intenfication)
merupakan sebuah teknologi berkelanjutan yang menguntungkan
petani karena memberikan hasil produksi lebih tinggi. Dalam sistem ini
kebutuhan air sampai dengan 50%. Kebutuhan input lainnya seperti pupuk dan
pestisida kimia juga lebih sedikit dibanding cara konvensional.
MANFAAT KEARIFAN EKOLOGI
TERHADAP PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
Studi Etnoekologi di Kalangan
Orang Biboki
Oleh: Yohanes Gabriel Amsikan
Wilayah Biboki merupakan daerah sabana, yakni padang
rumput yang luas diselingi belukar yang tidak begitu lebat. Masuknya Belanda
menggantikan Portugis membawa pula perubahan ekologi yang cukup signifikan.
Menyusul munculnya padang sabana, maka perlahan-lahan dikembangkan pola
pertanian baru, yakni perladangan dengan cara na’fot i (balik tanah) dengan
peralatan tradisional, seperti suan (tugal) dan kannu (linggis). Campur tangan
manusia, baik terhadap lingkungan maupun terhadap ekosistemnya secara tidak terkendalikan,
dapat memberikan gangguan pada keseimbangan ekologi. Sebagai masyarakat yang
komposisinya didominasi oleh orang-orang yang bermatapencahrian petani, maka core culture orang Boboki pun berkisar
pada sub-budaya tani dengan poros kegiatannya pada pengolahan tanah pertanian
sawah maupun ladang.
Dipandang dari aspek mata
pencaharian orang Biboki yang hampir seluruhnya adalah kegiatan pertanian.
Salah satu kekhasan pertanian orang Biboki adalah perladangan berpindah
(swidden agriculture) suatu gaya bertani yang masih khas orang di wilayah
tropis. Lingkungan meto yang mereka kena telah memberikan berbagai pengalaman
bekreasi dengan alam dan lingkunganya: tanah, flora, fauna, batu-batu, sesama
manusia, termasuk dengan makhluk halus yang diyakini keberadaanya. Untuk
mempertahankan sebidang tanah, masyarakat sering harus mengorbankan diri,
meneteskan darahnya bahkan nyawa sekali pun. Orang Biboki juga masih memegang
teguh kebenaran-kebenaran yang dikisahkan turun temurun melalui mitos-mitos.
Sebagaimana sudah dikemukakan bahwa hutan sabana yang
diturun-tangani masyarakat Biboki, justru berkembang menjadi semakin gundul,
maka hal ini memberikan suatu gambaran baru kepada mereka bahwa suatu pola adaptasi dan perubahan
strategi pertanian harus dilakukan. Beberapa tahun terakhir, pemerintah
mengeluarkan program relaksasi pemukiman penduduk dan sejumlah larangan seperti
larangan membuka hutan, larangan berburu, dan larangan mengembangkan ternak
secara bebas . Akan tetapi, dipihak lain masyarakat yang menggantungkan seluruh
hidupnya dari kegiatan pertanian menganggap hal ini sebagai perbuatan yang
kurang bijaksana. Mereka merasa tercabut dari lingkungannya. Adanya
perbedaan besar antara masyarakat Biboki dan pemerintah dalam hal perubahan
lingkungan, pada gilirannya menimbulkan sikap dan tindakan yang bertentangan
pula.